Sebagai pemilik bisnis, kamu seharusnya pernah mendengar tentang pentingnya retensi karyawan. Karena memang mempertahankan karyawan, terutama yang berkinerja baik, menjadi keuntungan tersendiri bagi perusahaan.
Sayangnya, cukup banyak karyawan secara global berniat resign diam-diam. Bahkan data dari Microsoft Work Trend Index 2023 mengungkapkan hampir separuh tenaga kerja sedang mempertimbangkan untuk hengkang dari pekerjaannya.
Apa yang harus dilakukan? Yuk, pahami bersama mengenai apa itu retensi karyawan dan strategi mempertahankan karyawan terbaik untuk perusahaan Anda di artikel ini.
Fenomena Silent Resignation
Kehilangan satu karyawan terbaik bisa menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Tak hanya rugi hilangnya sumber daya, mengganti sumber daya tersebut juga membutuhkan dana.
Dalam salah satu rilisnya, Gallup pernah menunjukkan data bahwa biaya mengganti satu karyawan bisa mencapai 150% dari gaji tahunannya lho. Kondisi karyawan yang diam-diam mau resign dari tempat kerja dikenal dengan istilah silent resignation.
Jadi, pengertian silent resignation adalah fenomena di mana karyawan secara diam-diam mulai kehilangan keterikatan terhadap pekerjaannya. Mereka mungkin masih hadir, tetapi tidak lagi produktif dan terlibat.
Fakta berikutnya yang perlu jadi perhatian Anda, retensi karyawan bukan sekadar upaya mempertahankan karyawan terbaik agar tidak resign dengan meningkatkan angka gaji saja, tetapi bagaimana cara Anda menciptakan lingkungan kerja yang membuat mereka ingin bertahan dan berkembang.
Apa Itu Retensi Karyawan?
Retensi karyawan adalah strategi yang perlu perusahaan lakukan untuk menjaga dan mempertahankan tenaga kerja terbaik dalam jangka panjang.
Implementasinya melibatkan strategi dan kebijakan yang berfokus pada:
- Meningkatkan keterlibatan, loyalitas, dan kepuasan karyawan.
- Menciptakan budaya kerja yang sehat.
- Menyediakan jalur karier yang jelas.
- Meningkatkan kesejahteraan dan penghargaan karyawan.
Retensi bukan reaktif, melainkan proaktif, di mana Anda perlu mengidentifikasi potensi masalah sebelum karyawan pergi, termasuk menjaga tim kerja tetap stabil dan produktif.
3 Alasan Pentingnya Perusahaan Memperhatikan Retensi Karyawan
Ada banyak referensi sebenarnya yang sudah menuliskan betapa penting perusahaan lebih memberi perhatian pada angka retensi karyawan.
Tak hanya tingginya biaya mengganti satu karyawan yang keluar saja, tetapi juga perlu mempertimbangkan produktivitas dan efisiensi kerja perusahaan.
Apalagi, setiap karyawan membawa pengetahuan, pengalaman, dan kebiasaan kerja unik masing-masing yang tentunya menguntungkan perusahaan.
Kehilangan mereka bisa dikatakan membuat Anda kehilangan aset berharga yang mungkin akan sulit ada penggantinya. Apalagi kalau perusahaan Anda termasuk perusahaan digital marketing agency Indonesia yang saat ini membutuhkan talenta-talenta digital terbaik.
Selain dua alasan ini masih banyak lagi manfaat yang bisa Anda dapatkan kalau peduli dan berfokus pada retensi karyawan, antara lain:
1. Mengurangi Biaya Turnover yang Tinggi
Tingkat turnover tinggi bisa menciptakan krisis di dalam perusahaan, terutama kalau yang keluar adalah karyawan kunci. Risiko menjadi semakin besar kalau ternyata karyawan ini malah pindah ke kompetitor utama bisnis Anda.
Biaya yang dimaksud di sini juga termasuk biaya proses rekrutmen, pelatihan karyawan baru, hingga waktu adaptasi karyawan baru dengan job description dan tanggung jawab mereka.
Sementara ketika angka retensi tinggi dan perusahaan tidak perlu terlalu sering menyelenggarakan pelatihan karyawan baru, maka dananya bisa Anda alokasikan untuk pengembangan lanjutan, baik pengembangan sumber daya, alat, bahkan pengembangan bisnis secara keseluruhan.
2. Meningkatkan Produktivitas dan Efisiensi
Tim yang stabil mampu berkolaborasi lebih baik, memahami alur kerja, dan menghasilkan output lebih tinggi.
Lalu ketika perusahaan memiliki lebih banyak karyawan berpengalaman, ini jelas meningkatkan produktivitas karena mereka cenderung menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dan akurat karena sudah terbiasa dengan apa yang seharusnya mereka kerjakan.
Di saat yang sama, karyawan senior dan berpengalaman yang perusahaan miliki juga dapat berperan sebagai mentor informal yang mempercepat pembelajaran karyawan junior, sehingga transfer ilmu dan pengetahuan jadi lebih cepat.
Efek positif berikutnya, perusahaan jadi lebih mudah mencapai target jangka panjang ketika karyawan solid dan stabil. Bahkan di tengah kondisi pasar yang fluktuatif, akan tetap ada inovasi yang bisa diluncurkan.
3. Reputasi Bisnis Lebih Baik
Karyawan jangka panjang menciptakan budaya kerja yang konsisten. Hal ini juga dapat meningkatkan moral, membantu proses regenerasi karyawan lebih cepat, dan membentuk loyalitas.
Saat ada banyak karyawan yang loyal, mereka cenderung membangun employer branding yang lebih kuat pula.
Perusahaan dengan reputasi retensi tinggi menarik talenta terbaik. Ini menjadi keunggulan kompetitif yang kuat. Di saat yang sama, pelanggan pun akan lebih mempercayai bisnis yang memiliki tim stabil. Pergantian staf yang terlalu sering menciptakan kesan tidak profesional.
7 Strategi Retensi Karyawan yang Terbukti Efektif
Retensi karyawan bukan lagi sekadar soal gaji dan tunjangan. Di era kerja modern, apa yang membuat karyawan bertahan justru bergeser ke arah pengalaman kerja yang bermakna, fleksibilitas, dan rasa dihargai.
Strategi yang efektif adalah strategi yang memahami kebutuhan manusiawi karyawan: dari pertumbuhan karier, kesejahteraan emosional, hingga rasa memiliki terhadap visi perusahaan.
Berikut ini 5 strategi retensi karyawan yang telah terbukti mampu meningkatkan loyalitas dan menurunkan turnover secara signifikan:
1. Internal Mobility dan Promosi
Perusahaan seperti Google dan LinkedIn aktif mendorong mobilitas internal. Ini membuat karyawan merasa dihargai dan punya peluang karier yang jelas.
Selain itu, memberi kesempatan promosi dari dalam organisasi bukan hanya soal penghematan biaya rekrutmen eksternal. Ini adalah strategi jangka panjang untuk membangun career path yang jelas dan membangun kepercayaan karyawan terhadap perusahaan.
Studi dari LinkedIn (2023) menunjukkan bahwa karyawan yang berpindah peran secara internal memiliki kemungkinan bertahan 2 kali lebih lama dibanding yang tidak.
Internal mobility juga menciptakan rasa progres dan pertumbuhan. Google misalnya, punya program rotasi internal untuk menghindari kejenuhan, sekaligus memperkaya kompetensi lintas divisi.
Strategi ini membutuhkan sistem evaluasi kinerja yang transparan dan komunikasi terbuka tentang jalur karier yang tersedia. Jadi, jangan tunggu karyawan meminta, namun jadikan percakapan karier sebagai bagian dari budaya kerja.
2. Fleksibilitas Kerja (Remote & Hybrid)
Fleksibilitas adalah mata uang baru dalam dunia kerja. Setelah pandemi, ekspektasi karyawan berubah: mereka ingin punya kontrol lebih atas waktu dan tempat kerja.
Gartner melaporkan bahwa perusahaan yang menyediakan opsi kerja fleksibel memiliki tingkat retensi lebih tinggi dibanding yang tidak.
Fleksibilitas ini bisa berarti kerja dari rumah, jam kerja yang tidak kaku, hingga sistem hybrid 2–3 hari per minggu di kantor.
Tapi fleksibilitas bukan hanya terkait lokasi kerja, melainkan tentang kepercayaan. Ketika perusahaan menunjukkan kepercayaan kepada karyawan untuk mengatur ritmenya sendiri, hal itu berbalik menjadi loyalitas.
Implementasi sistem kerja fleksibel tetap membutuhkan struktur: komunikasi yang jelas, sistem penilaian berbasis output, dan dukungan teknologi, seperti cloud, VPN, atau collaboration tools.
3. Program Well Being Terintegrasi
Kesejahteraan karyawan tidak bisa ditangani secara parsial. Ketika Anda berhasil meningkatkan retensi, bisa dikatakan Anda paham kalau kesehatan fisik, mental, dan finansial saling berkaitan erat.
Itulah sebabnya, perusahaan Anda perlu memiliki program well being yang efektif. Program ini tak hanya sekadar menyediakan asuransi kesehatan, tetapi juga mencakup sesi konseling psikologis gratis, akses ke kelas kebugaran, pelatihan mindfulness, atau bahkan perencanaan keuangan pribadi.
Contohnya bisa Anda lihat pada perusahaan besar, seperti Unilever yang menyediakan well-being coach untuk mendampingi karyawan. Lalu cukup banyak pula perusahaan teknologi seperti SAP bahkan melibatkan psikolog dalam menyusun kebijakan kerja hybrid.
Selain itu, Anda juga harus menerapkan well being program ini bukan sekadar tindakan preventif ya, tetapi juga reaktif, misalnya ada angket dan survei terkait stres bulanan, pelatihan manajemen emosi untuk atasan, hingga kebijakan cuti mental health yang tidak menghakimi.
4. Manajemen Kinerja Berbasis Umpan Balik
Alih-alih menerapkan performance review tahunan yang sudah ketinggalan zaman, karyawan masa kini lebih mengharapkan perusahaan menggunakan sistem feedback dua arah berkelanjutan dan berorientasi pada pengembangan karyawan, bukan sekadar penilaian.
Manajemen kinerja berbasis umpan balik berkelanjutan (continuous feedback) memungkinkan karyawan mendapat arahan langsung saat dibutuhkan, bukan menunggu akhir tahun.
Contoh implementasinya bisa seperti Atlassian yang menggunakan weekly check-in berbasis pertanyaan terbuka seperti “Apa yang membuatmu tertantang minggu ini?” atau “Apa yang bisa kami bantu?” Ini membangun budaya saling percaya dan rasa didengar.
Feedback juga harus disertai coaching, bukan sekadar kritik. Perusahaan yang melatih leader-nya menjadi people developer cenderung memiliki retensi dan kepuasan kerja yang lebih tinggi.
5. Employee Listening Tools & Survei Rutin
Karyawan Anda tahu masalahnya, mereka hanya perlu ditanya. Tetapi mendengarkan karyawan tidak cukup jika tidak ada aksi setelahnya.
Di sinilah employee listening tools, seperti Officevibe, Glint, atau Peakon berperan mengumpulkan insight dari karyawan dan bertindak berdasarkan umpan balik.
Di saat yang sama, employee listening tools juga membantu HR mengukur engagement, beban kerja, kepercayaan terhadap manajemen, bahkan indikator burn out secara real time.
Survei tidak harus panjang; cukup 5–7 pertanyaan mingguan dengan metrik yang dapat dilacak. Gunakan data ini sebagai early warning system untuk mendeteksi potensi resign sebelum terjadi.
Namun yang paling penting adalah feedback loop. Jadi setelah melakukan survei, Anda wajib menyampaikan hasilnya kepada tim dan menjelaskan langkah nyata yang perlu diambil bersama-sama.
Dengan cara ini, Anda bisa membangun loyalitas karyawan secara lebih masif karena mereka akhirnya merasa di dengar dan dilibatkan dalam menemukan solusi yang dibutuhkan demi perbaikan dan pengembangan.
6. Leadership Development Program
Pemimpin yang baik tidak hanya meningkatkan performa tim, tetapi juga mempengaruhi tingkat retensi secara langsung. Banyak karyawan resign bukan karena perusahaan, tetapi karena atasan langsung yang tidak suportif atau kurang kompeten dalam memimpin.
McKinsey bahkan mencatat kalau cukup sering terjadi, alasan karyawan keluar berkaitan dengan hubungan interpersonal di tempat kerja, terutama dengan manajer. Maka, investasi pada pengembangan kepemimpinan adalah langkah strategis jangka panjang.
Program leadership development yang ideal mencakup pelatihan soft skill, seperti empati, komunikasi asertif, coaching, hingga pengambilan keputusan etis. Perusahaan progresif juga menyediakan reverse mentoring, di mana leader senior belajar dari generasi muda tentang digital mindset dan inklusivitas.
Pada saat Anda membekali manajer untuk menjadi pemimpin yang menginspirasi, perusahaan menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan mendorong retensi secara alami.
7. Recognition & Reward System yang Personal
Hampir semua orang ingin mendapatkan penghargaan atas kontribusinya. Namun penghargaan yang dimaksud di sini bukan sekadar bonus akhir tahun saja.
Karyawan di era modern seperti saat ini juga menginginkan pengakuan yang bersifat real time, relevan, dan personal.
Sistem reward modern menggabungkan pengakuan informal, misalnya shout out di meeting mingguan atau Slack, dengan insentif terukur, seperti voucher, cuti tambahan, atau akses pelatihan premium.
Salesforce, misalnya, memiliki program “Thank You Awards” yang memungkinkan rekan kerja saling memberi apresiasi secara peer to peer. Ini menciptakan budaya saling menghargai dan meningkatkan ikatan antar tim.
Yang penting, sistem penghargaan harus inklusif dan adil, tidak hanya untuk posisi senior atau yang tampil di permukaan. Bahkan kontribusi kecil seperti membantu rekan kerja bisa diberi apresiasi, jika sistemnya dirancang untuk mengenali hal-hal positif yang terjadi sehari-hari.
Retensi Bukan Sekadar Menahan, Tapi Mengembangkan
Seperti yang Doug Conant, mantan CEO Campbell Soup Company, katakan, “If you want to win in the marketplace, you must first win in the workplace.” Maka retensi karyawan adalah investasi jangka panjang.
Dalam lanskap kerja yang makin kompetitif, mempertahankan talenta terbaik bukan sekadar tugas HR, melainkan prioritas strategis perusahaan.
Namun selain mempertahankan, retensi yang kuat juga harus dapat mengembangkan, mulai dari menciptakan lingkungan kerja yang sehat, budaya yang inklusif, dan kepemimpinan yang berdaya guna. Maka lakukan evaluasi sesegera mungkin terkait:
- ✅ Apakah organisasi Anda cukup mendengar suara karyawan?
- ✅ Apakah tim kepemimpinan sudah dibekali kemampuan empatik dan visioner?
- ✅ Apakah karyawan merasa punya masa depan di dalam perusahaan?
Jika belum, maka jangan tunda lagi dan segera implementasi strategi retensi yang efektif. Mulailah dari perubahan kecil yang berdampak besar, karena mempertahankan satu karyawan berharga jauh lebih murah (dan bernilai) dibanding merekrut yang baru.
Referensi & Sumber Tepercaya:
- Microsoft Work Trend Index 2023: https://www.microsoft.com/en-us/worklab/work-trend-index
- Gallup Employee Engagement & Turnover: https://www.gallup.com/workplace/247391/fixable-problem-costs-businesses-trillion.aspx
- Talent Acquisiton: https://www.shrm.org/topics-tools/tools/express-requests/talent-acquisition-trends-for-2025
- Gartner 2023 Trends: https://www.gartner.com/en/articles/future-of-work-trends